Pages

Rabu, 27 Agustus 2014

Bahagia itu Belajar Dari Kesederhanaan

Saat ini, saat semua informasi begitu cepat tersebarluaskan lewat perkembangan teknologi, tak sadar kita terhipnotis dalam kompleksitas tawaran berbagai produk yang merayu dengan embel-embel sebagai pendamping kehidupan abad kekinian yang tak bisa dilepaskan manusia modern. Dari mulai gadget, fashion, elektronik, produk kesehatan hingga perabot rumah tangga yang dipatok harga yang cukup tinggi oleh para produsennya. Ditawarkan diberbagai media cetak, tv, online shop, broadcast massage dan jejaring sosial yang kini menjadi media iklan yang digandrungi pebisnis muda.
Kita terhanyut dalam arus yang begitu deras memberedel, mengobrak abrik logika, menghancurkan filter yang tak lagi mampu membendung keinginan duniawi. Bagi sebagian orang ini lumrah, wajar. Sebagai contoh, lihat saja anak-anak TK sekarang sudah dibekali  komputer tablet oleh orang tua untuk teman bermainnya, anak-anak SMP, SMA dengan Handphone… atau mungkin smartphone yang lebih dari 1 variatif merek dari produsen-produsen papan atas dan belum lagi ditambah dengan gadget tambahan lainnya seperti kamera, laptop, komputer tablet, pemutar musik portable dan mungkin beberapa lainnya yang berhasil didapat dari rengekan pada orang tuanya.
Lalu, apakah kesenangan-kesenangan sesaat seperti itu dianggap bahagia?? Orang tua yang sibuk dengan pekerjaannya dan keengganannya menyisihkan waktu untuk bermain dan memberi perhatian ekstra pada anaknya kemudian dipikir komputer tablet bisa jadi penggantinya? Jangan heran kalo nanti sang anak lemah secara  fisik dan tergolong individualis, tak mampu bersosialisasi, menutup diri, sombong, angkuh hingga dijauhi dengan kawanannya saat dewasa nanti.
Anak-anak SMP/SMA yang di jor oleh orang tuanya, yang pada akhirnya menurunkan prestasi karena prioritas belajar yang terpecah. Atau parahnya, bahkan mereka memanfaatkan semua perangkat modern seperti smartphone, laptop, tablet bahkan hingga kendaraan mewah dan akses kartu kredit limitless yang dimiliki sebagai dewa baru, sebuah alasan yang powerfull untuk bebas melakukan apapun pada teman dan para followersnya. Melenyapkan rasa hormat pada yg lebih dewasa, bebas nyuruh teman untuk mengerjakan PR, memiliki kekuatan untuk meminta akses jawaban saat ujian, bebas menentukan siapa VIP bodyguard nya dengan tentu saja iming-iming imbalan yang diinginkan. Lalu, apakah kondisi ini akan mampu membuat kehidupan mendatang menjadi lebih baik? 
Orang-orang yang lebih dewasa pun masih ada saja yang mencontohkan dengan berlomba-lomba menunjukan prestis, wibawa, pamor, kekuatan lewat segala bentuk kemewahan yang dimiliki bukan dengan brand presonality yang dibangun dari rasa hormat-menghormati, tenggang rasa, saling toleransi, kesederhanaan, jiwa sosial yang tinggi. Sebaliknya, malah yang dipupuk dengan begitu subur dengan kondisi berlomba saling manas-manasin tetangga hingga memicu keinginan berhutang sana-sini, pinjam rentenir, gali lubang tutup lubang yang kemudian menjadi beban perekonomian dan merusak keharmonisan keluarga. Lalu, sekali lagi… apakah kondisi ini akan mampu membuat kehidupan mendatang menjadi lebih baik? 
Kita begitu terlena hingga akhirnya lupa untuk bersyukur, lupa tentang garis pembatas antara kebutuhan dan keinginan, tentang arti manfaat dan ego kesenangan semata hingga bahkan sampai memecahkan rantai dan mengumbar gengsi seolah ladang pacu untuk berkompetisi.
Hidup bahagia, seutuhnya adalah saat kita mencoba membahagiakan kehidupan diluar diri kita ~richard p.s~

0 komentar:

Posting Komentar