Pages

Rabu, 27 Agustus 2014



Saat ini, sebagai sebuah negara bangsa, Indonesia tidak banyak memberikan amunisi yang membanggakan bagi rakyatnya. Jumlah orang miskin dan hampir miskin yang masih sangat tinggi mencapai separuh rakyat Indonesia, merajalelanya korupsi, langkanya produk unggul “made in Indonesia” serta jebloknya prestasi olahraga karena salah urus adalah beberapa contoh. Kiprah negeri ini di kancah internasional, juga terbilang sekadar sebagai “penggembira”.
Proses yang berlangsung sejak dua hingga tiga dekade terakhir ini, juga berkaitan erat dengan keterpurukan negeri ini dalam berbagai aspek kehidupan bersama yang terutama disebabkan oleh kesenjangan sosial-ekonomi antarpenduduk. Sebagai sebuah imagined community yang bisa dianggap sebagai proyek masa depan (Ben Anderson), rasa kebersamaan dan solidaritas sebagai bangsa pun cenderung semakin surut diikuti oleh semakin menguatnya sentimen kedaerahan dan primordialisme.
Hal tersebut, sedikit-banyak disebabkan oleh kekecewaan kolektif bahwa nilai-nilai seperti keadilan sosial, perikemanusiaan dan musyawarah seringkali sekedar menjadi retorika kosong para penguasa. Hal yang sedikit banyak ikut mempengaruhi perilaku masyarakat. Semakin lama keadaan ini bertahan, bangsa sebagai sesuatu yang berada dalam proses menjadi, bisa semakin berkurang maknanya bagi mayoritas rakyat.
Pada saat yang sama, berkurangnya rasa bangga sebagai bangsa, juga ditentukan oleh gencarnya promosi gaya hidup ‘Barat’. Tentu saja yang patut dicemaskan, bukanlah nilai-nilai yang berakar pada kebudayaan Barat yang terlahir dari proses aufklarung (pencerahan), tetapi gaya hidup konsumerisme yang dipacu oleh liberalisasi perdagangan dan tak jarang dibalut dengan klaim superioritas tentang apa saja yang datang dari Barat, yang sadar atau tidak sadar “dipercaya” oleh anak-anak kita.
Kalau semua ini terus berlanjut, sulit diharapkan timbul sikap mental percaya diri dan karena itu mampu menilai secara kritis dan berjarak, baik terhadap kebudayaan lain maupun kebudayaan sendiri. Mottonya sudah pernah kita dengar: Mempertahankan yang baik dari khazanah kebudayaan sendiri dan mengambil yang lebih baik dari khazanah kebudayaan lain.
KonsensusSelain mengatasi berbagai masalah sosial-ekonomi dan hukum, dalam upaya meningkatkan rasa percaya diri rakyat sebagai bagian dari pembangunan bangsa, perlu dicarikan konsensus berupa sebuah leitgedanken (alur pemikiran). Hal tersebut memberikan ruang bagi mekarnya kreativitas dan keberagaman, menguatnya sifat toleransi, tumbuhnya sikap mau bertanggungjawab dan disiplin, prihatin terhadap ketidakadilan, keharuan dan kepekaan atas nilai-nilai yang subtil serta solidaritas terhadap mereka yang lemah, papa dan terpinggirkan. Semua itu, antara lain perlu menjadi dasar dan tujuan pendidikan nasional.
Beberapa ciri pendidikan berikut ini, bisa menjadi wacana. Pertama, sistem pendidikan sebaiknya berorientasi pada nilai (wertorientiert). Pendidikan tidak hanya terbatas pada sekedar transfer pengetahuan dan keahlian fungsional. Selain itu, diperlukan transfer nilai-nilai dasar yang selama puluhan tahun terakhir memang banyak didengungkan, tapi jarang dihayati dan dipraktekkan, yaitu kejujuran, keadilan, kerja keras, kesederhanaan, kepekaan sosial, disiplin, tepat waktu dan kebersamaan sebagai bangsa. Perlu pula ditekankan keterkaitan antarnilai. Sikap toleran misalnya, hanya akan tumbuh, bila seseorang bangga atas jati dirinya.
Kedua, meski sistem pedidikan sebaiknya terkait dengan dunia praktis, namun itu bukan berarti melulu berbicara tentang materialisasi pendidikan yang mengedepankan konsep ‘siap pakai’ bagi perekonomian. Dalam kehidupan dan profesi, seringkali hal-hal yang mendasar terjadi dalam ruang di antara batasan-batasan konvensional. Profesi dan jurusan akademik baru misalnya, muncul di antara jurusan-jurusan klasik, sehingga memerlukan orientasi baru. Juga diperlukan pelajaran interdisiplin, seperti ‘campuran’ antara biologi, kimia dan etik, misalnya, berkaitan erat dengan pelestarian lingkungan hidup.
Ketiga, diperlukan sebuah sistem pendidikan yang memberikan ruang bagi anak didik untuk bersaing dan berkreasi secara ‘fair’. Fair, juga berarti memberikan beasiswa dan bantuan ekstra kepada mereka yang berasal dari lapis sosial (ter)bawah, sambil tetap memberikan penghargaan bagi siapapun yang berprestasi. Sudah saatnya pula, dewan siswa dan mahasiswa dipilih secara demokratis dan mempunyai wewenang untuk berpartisipasi dalam kegiatan ektra kurikuler, atau bahkan terlibat dalam perencanaan dan proses ajar-mengajar. Lembaga pendidikan juga perlu dibebaskan dari kungkungan birokrasi yang tambun dan njlimet. Sudah saatnya, otonomi dalam pengelolaan kelembagaan diberikan pada masing-masing lembaga. Dalam hal suasana ajar-mengajar, metode dialog, diskusi dan ‘mempertanyakan’ untuk mencari kebenaran yang lebih tinggi harus dibuka selebar mungkin.
Keempat, dibutuhkan sebuah sistem pendidikan yang efisien dalam pengelolaan waktu. Para murid agar tidak dibebani pelajaran yang berjubel. Begitu pula dengan para guru agar tidak terpaksa memperpendek waktu mengajarnya karena dipakai untuk mencari penghasilan tambahan. Selain itu, untuk perguruan tinggi agar tersisa waktu bagi para dosen untuk melakukan penelitian, tidak sekedar mengajar.
Etika Politik BaruSelain itu, agar berkontribusi positif dalam proses globalisasi dewasa ini, diperlukan sebuah (kurikulum) pendidikan global. Pertanyaan yang selayaknya diajukan adalah, apakah hal-hal seperti keadilan sosial, solidaritas antarwarga satu bangsa dan antarbangsa, begitu pula dengan pemberlakukan konsep pembangunan berkelanjutan dalam era persaingan keras dan tajam yang menjadi ciri khas globalisasi neoliberal masih aktual dan relevan?
Banyak suara yang pesimistis. Keyakinan tentang meningkatnya keterbukaan pasar, plus meningkatnya laju pertumbuhan sama dengan meningkatnya lapangan kerja, patut dipertanyakan. Perkembangan dunia terakhir menunjukkan hal yang berlawanan. Selama 20 tahun terakhir, peningkatan produksi global meningkat dari 4.000 menjadi 23.000 miliar dollar AS. Tetapi, pada saat yang sama, jumlah orang miskin meningkat 20 persen lebih. Porsi 47 negara termiskin dalam perdagangan dunia pun menyusut antara tahun 1960-1990, dari empat persen menjadi tinggal satu persen dengan kecenderungan terus menyusut. Padahal, nilai perdagangan dunia dari tahun 1974-1995 meningkat dari 479 miliar menjadi 4.940 miliar dollar AS dan menjadi lebih dari dua kali lipat pada pertengahan 2013.
Maka tidak heran ada yang mengatakan, “….yang terjadi adalah marginalisasi negara miskin dalam perdagangan dunia. Negara-negara itu hanyalah obyek politik dunia.” Karena itu, Ulrich Beck mensinyalir, “Demokrasi terancam bila globalisasi digenjot tanpa kontrol”, sambil bertanya, “seberapa jauh demokrasi mampu bertahan digerogoti kemiskinan?”
Sebenarnya, sejak beberapa tahun terakhir, pendidikan global mulai menjadi wacana ilmiah di banyak negara. Hal ini dilatarbelakangi upaya untuk tidak melihat kenyataan makin memburuknya kondisi global sebagai hal tak terhindarkan, tetapi adalah tugas kependidikan untuk memperbaikinya. Saat ini, konsep yang diajukan amat beragam. Apa pun, dua posisi ekstrem, yaitu ‘pendidikan global sekedar membantu memperkuat jaringan global players’ atau sebaliknya ‘pendidikan global harus diupayakan sebagai penolakan total untuk bersinggungan dengan proses globalisasi’ tidak boleh terjadi karena tidak realistis dan karena itu, tidak bertanggung jawab
Di antara dua posisi tersebut, ada spektrum luas berbagai kepentingan. Perusahaan transnasional, semestinya semakin sadar bahwa pemahaman antarbudaya telah mendongkrak kesuksesan penjualan produk-produknya. Birokrasi pemerintahan pun, diharapkan sadar, bahwa tanpa pemahaman itu, berbagai konflik dan kegagalan pembangunan sulit dihindarkan. Negara berkembang, bisa dimengerti, umumnya, mencemaskan “kolonialisasi modern” yang terbawa proses globalisasi.
Karena itu, banyak cendekiawan berinisiatif melawan keyakinan buta tentang pertumbuhan dan pembangunan tanpa batas. Globalisasi sebagai rekayasa manusia, karena itu sebanyak mungkin manusia harus terlibat di dalamnya, bila tidak ingin membiarkan proses globalisasi diatur segelintir (pemilik) perusahaan raksasa.
Diharapkan, dalam proses ini, pendidikan global menjadi salah satu wadah yang memunculkan etika politik baru yang lebih baik, yang meningkatkan kepercayaan diri dan kebanggaan (rakyat) negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar