Pages

Rabu, 27 Agustus 2014




sejarah mencatat akan adanya peristiwa besar yang mampu mengguncangkan nyali siapa pun. Bagaimana tidak, ultimatum pasukan NICA yang menggandeng sekutu ditolak mentah-mentah oleh arek-arek Suroboyo. Dengan gagah berani dan rasa bangga sebagai Bangsa Indonesia mereka menolak perintah, memberontak, berjuang melawan pasukan sekutu yang datang dengan persenjataan lengkap. Rakyat Indonesia hanya berbekal senjata seadanya dan tekad membara dari seluruh pelosok kota. Perjuangan datang tidak hanya dari para tentara, juga dari segala lapisan masyarakat sipil. Mulai dari pelajar hingga guru, dari pekerja hingga pensiunan, bahkan dari santri hingga kiai, yang bertekad untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia muda pada saat itu.  
Betapa beraninya kita sebagai negara yang kala itu masih berumur 85 hari. Betapa padunya kita sebagai bangsa melawan tentara sekutu dengan segala persenjataan lengkapnya, dan betapa hebatnya martabat kita sebagai warga negara untuk lepas dari belenggu penjajahan. Mempertahankan kemerdekaan yang telah berabad-abad diimpikan dan susah payah direbut dengan tumbal darah, tulang, dan harga diri dari kaum pribumi.
 
Kini negara ini memang telah merdeka, usianya pun sudah cukup tua untuk ukuran manusia. Banyak yang telah berubah, banyak yang diperoleh sebagai negara merdeka. Namun tidak sedikit pula yang mulai terkikis sedikit demi sedikit setelah sekian waktu menjadi negara merdeka, salah satunya kebanggaan.
 
Kebanggaan? Ya, kebanggaan. Betapa sederhana kata ini. Apabila ditilik lebih jauh dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, maknanya hanya beberapa kata. Kebanggaan atau bangga bermakna besar hati; merasa gagah karena memiliki keunggulan.
 
Kebanggaan memang tidak nampak, keberadaannya pun kini sudah mulai dilupakan. Namun jangan sekali-kali meremehkan yang namanya kebanggaan. Karena kebanggaan merupakan dasar timbulnya perlawanan para pejuang dalam mempersembahkan kemerdekaan yang masih kita rasakan hingga saat ini. Karena kebanggaan itulah kebebasan yang belum sempat dirasakan nenek moyang ketika dijajah berabad-abad dahulu, telah dapat kita nikmati dengan sukacita, dan karena kebanggaan itu pula Indonesia berhasil menjadi negara.
 
Sebagai negara yang sudah berpuluh tahun menjadi negara berkembang, dan entah kapan akan menjadi negara maju, tidak bisa dimungkiri rasa kebanggaan bangsa ini mulai luntur dengan sendirinya. Rasa gagah karena memiliki keunggulan tidak lagi terwujud sebagai negara kaya. Kaya akan potensi sumber daya manusianya dan kaya akan sumber daya alamnya. Tidak ada yang membantah akan hal itu!
 
Untuk urusan sumber daya manusia, kehebatan anak negeri ini tidak perlu diragukan. Banyak yang hebat, dengan segala potensi dan prestasi yang telah dihasilkannya. Namun, sayang kebanyakan dari mereka justru harus mengabdi untuk bangsa asing, menjadi pekerja di perusahaan asing, karena sudah tidak adanya kebanggaan menjadi seorang Indonesia untuk mengabdi kepada negara. Atau karena muak dan malu dengan perilaku penguasa bangsanya yang korup, yang meremehkan kemampuan bangsa sendiri dan cenderung fanatik kepada asing.
 
Kefanatikan penguasa negeri ini terhadap bangsa asing dibanding bangsa sendiri ini pun juga berdampak pada pengelolaan sumber daya alam Indonesia. Anugerah sumber daya alam yang begitu kaya, yang tidak habis dieksploitasi sejak zaman penjajahan Belanda hingga saat ini, tentu memunculkan rasa syukur yang tidak henti-hentinya. Namun tidak adanya kebanggaan sebagai bangsa, hilangnya rasa gagah karena memiliki keunggulan tersebut menyebabkan pengelolaan sumber daya alam Indonesia harus terus diserahkan kepada asing. Bangsa sendiri dipandang remeh dan dianggap belum mampu, dan tidak akan pernah mampu mengelola aset bangsa sendiri. Teknologi perusahaan bangsa dirasa kalah telak jika dibandingkan dengan perusahaan asing.
 
Penyerahan kekuasaan kelola sumber daya alam kepada asing oleh para pemangku kebijakan inilah yang turut berdampak pada lunturnya kebanggaan masyarakat akan negaranya sendiri. Tidak ada lagi yang bisa dibanggakan dari negara ini dikarenakan perilaku penguasa yang sibuk mencari pujian bangsa asing, mengharapkan penghargaan dari negara lain, atau bahkan sibuk mencari keuntungan dan memperkaya diri sendiri. Tidak ada kebanggaan tentang kekayaan alam bangsa yang terus menerus diberikan kepada bangsa asing dibanding menyejahterakan bangsa sendiri.
 
Kebanggaan masyarakat sebagai seorang Indonesia semakin tidak tersisa, apalagi jika kita menengok apa yang bisa dilakukan negara ini ketika “dijahili” oleh negara lain. Kasus yang masih hangat tentu isu penyadapan oleh Amerika dan Australia. Tidak ada pernyataan atau bahkan langkah tegas dari penguasa yang membuat rakyat Indonesia setidaknya memiliki rasa percaya, bahwa negara ini sesungguhnya masih merdeka, tidak terus-terusan kalah, dikendalikan, atau didikte oleh bangsa asing.
 
Kebanggaan sebagai bangsa yang pernah dimiliki dan mulai tumbuh hebat ketika melawan penjajah dahulu akan semakin luntur dan bahkan tinggal teori dalam pendidikan kewarganegaraan, apabila tidak dipicu dengan adanya langkah praktis mengembalikan kedaulatan dalam tata kelola aset negara. Tentu tidak lagi melalui perang seperti zaman penjajahan dahulu, tetapi dengan dengan menunjukkan kepercayaan diri sebagai bangsa yang merdeka, menegaskan kegagahan dengan segala yang dimiliki oleh bangsa ini.
 
Membangkitkan kebanggaan bangsa memang buka perkara gampang, apalagi di tengah keterpurukan yang tengah dialami oleh Indonesia saat ini. Namun, momentum Hari Pahlawan ini selayaknya tidak hanya menjadi sebatas seremoni, tapi juga refleksi terhadap pentingnya kebanggaan sebagai sebuah bangsa, dan mendesaknya penegasan kegagahan untuk memicu kebanggaan bangsa dari seluruh aspek masyarakat. Agar kebanggaan sebagai seorang Indonesia dapat tumbuh subur kembali, seperti 68 tahun yang lalu.

0 komentar:

Posting Komentar