Pages

Minggu, 24 Agustus 2014

Sejarah Daerah


Pekojan adalah salah satu kelurahan di kecamatan TamboraJakarta BaratIndonesia. Kelurahan ini berbatasan dengan ..... di sebelah utara, ..... di sebelah barat, Kelurahan Roa Malaka di sebelah timur dan ..... di sebelah selatan. Kelurahan ini memiliki penduduk sebesar 27.188 jiwa (sensus 2000)[1] dan luas .... Ha.
Kelurahan Pekojan memiliki kode pos 11240.


Kampung Arab

Pekojan merupakan salah satu tempat bersejarah di Jakarta. Nama Pekojan menurut Van den Berg berasal dari kata Khoja, istilah yang masa itu digunakan untuk menyebut penduduk keturunan India yang beragama Islam.[2]

Jalan Pekojan di masa Hindia Belanda
Daerah Pekojan pada era kolonial Belanda kemudian dikenal sebagai kampung Arab. Pemerintah Hindia Belanda pada abad ke-18 menetapkan Pekojan sebagai kampung Arab. Kala itu, para imigran yang datang dari Hadramaut (Yaman Selatan) ini diwajibkan lebih dulu tinggal di sini. Baru dari Pekojan mereka menyebar ke berbagai kota dan daerah. Di Pekojan, Belanda pernah mengenakan sistem passen stelsel dan wijken stelsel. Bukan saja menempatkan mereka dalam pemukiman khusus, tapi juga mengharuskan mereka memiliki pas atau surat jalan bila bepergian ke luar wilayah. Sistem macam ini juga terjadi di Kampung AmpelSurabaya, dan sejumlah perkampungan Arab lainnya di Nusantara. Kampung Pekojan merupakan cikal bakal dari sejumlah perkampungan Arab yang kemudian berkembang di Batavia. Dari tempat inilah mereka kemudian menyebar ke Krukut dan Sawah Besar (Jakarta Barat); Jati petamburan, Tanah Abang, dan Kwitang (Jakarta Pusat); Jatinegara dan Cawang (Jakarta Timur).
Saat ini, mayoritas penghuni Pekojan adalah keturunan Tionghoa.

Jamiatul Kheir

Di Pekojan, pada awal abad ke-20 (1901), berdiri organisasi pendidikan Islam, Jamiatul Kheir, yang dibangun dua bersaudara Shahab, Ali dan Idrus, di samping Muhammad Al-Mashur dan Syekh Basandid. Menurut buku Jakarta dari Tepian Air ke Kota Proklamasi yang diterbitkan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI, perkumpulan ini menghasilkan tokoh KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan HOS Tjokroaminoto (pendiri SI). Jamiatul Kheir mendatangkan Syeikh Ahmad Surkati dari Sudan yang kemudian mendirikan Perguruan Islam Al-Irsyad.
Jamiatul Kheir banyak mendatangkan surat kabar dan majalah dari Timur Tengah. Ia ikut menyebarkan gerakan Pan Islam yang dicetuskan Sayid Jamaluddin Al-Afghani dan punya hubungan korespondensi dengan surat kabar dan majalah di Timur Tengah. Dengan demikian negara-negara tersebut 
mendapatkan informasi mengenai Indonesia, termasuk kekejaman Belanda. Snouck Hurgronye dengan berang menuding Jamiatul Kheir membahayakan Belanda.
Tempat-tempat kegiatan Islam yang masih tersisa di Pekojan akan ditinjau dalam wisata kota tua hari ini (Ahad 25/8). Acara ini akan diikuti sekitar 100 orang dari kalangan mahasiswa, sejarawan, dan pers.

Peninggalan warga keturunan Arab


Masjid Langgar Tinggi di Pekojan
Di Pekojan, sekalipun kini tidak tepat lagi disebut kampung Arab, peninggalan orang Arab ratusan tahun lalu banyak. Misalnya Masjid Langgar Tinggi, dibangun abad ke-18. Masjid ini telah diperluas oleh Syeikh Said Naum, seorang kapiten Arab. Ia memiliki beberapa kapal niaga dan tanah luas di Tanah Abang yang sebagian diwakafkan untuk pekuburan. Pekuburan ini oleh Ali Sadikin dibongkar dan di atasnya dibangun rumah susun.
Di dekat Masjid Langgar Tinggi terdapat Jembatan Kambing. Dinamakan demikian karena sebelum binatang dibawa ke pejagalan (kini Jl Pejagalan), kambing melewati jembatan di Kali Angke ini. Para pedagang di sini sudah berdagang turun-menurun sejak 200 tahun lalu.
Di depan pejagalan terdapat Masjid An-Nawier, tempat ibadah terbesar di Pekojan. Menurut Abdullah Zaidan, masjid ini diperluas pada 1920-an oleh Habib Abdullah bin Husein Alaydrus. Ia seorang kaya raya, dan tempat kediamannya diabadikan menjadi Jl Alaydrus, di sebelah kiri Jl Hayam Wuruk. Ia juga banyak memasok senjata untuk para pejuang Aceh pada Perang Aceh (1873-1903).
Masih di kawasan Pekojan, terdapat Masjid Zawiah yang dulu merupakan surau kecil. Masjid ini dibangun Habib Ahmad bin Hamzah Alatas, guru dari Habib Abdullah bin Muhsin Alatas, yang kemudian memimpin pengajian dan majelis taklim di Empang, Bogor. Beberapa rumah arsitektur Moor (sebutan Muslim India dan Timur Tengah), masih terdapat di sini.

0 komentar:

Posting Komentar