Pages

Sabtu, 30 Agustus 2014

Beberapa waktu lalu, ada seorang anak gadis kecil ingin minta uang jajan ke ayahnya. Gadis kecil itu ingin minta uang jajan ke ayahnya karena ingin beli buku komik favoritnya.
Papa, minta duit dong? Aku mau beli komik itu!
Iya, nanti Papa belikan kamu buku komik ya. Tapi belajar dulu yang rajin.
Oke, tapi duitnya dulu dong, Pah!
Terbayang tidak bagi Anda jika mata uang kita bukan Rupiah? Atau, bagaimana kalau beli komiknya barter dengan buku dengan nilai yang sama? Pernahkah terlintas di pikiran Anda dari mana asal muasal Rupiah itu? Dari mana pula asal kata Rupiah itu? Apa zaman kerajaan di Nusantara ini pernah pakai Rupiah? Atau pakai mata uang lain? Bagi Anda yang belum tahu sejarah mata uang yang sehari-hari Anda pakai itu, informasi di bawah ini adalah bagian kecil dari sejarah lengkap mata uang Rupiah.
Menurut Wikipedia, mata uang ini dicetak dan diatur penggunaannya oleh Bank Indonesia dengan kode ISO 4217 IDR. Berdasarkan sejarawan uang Indonesia, kata rupiah diambil dari kata rupia” dalam bahasa Mongolia. Kata “rupia sendiri artinya /perak/. Memang mirip dengan pelafalan rupee”, namun sebenarnya kata “rupiah itu sendiri adalah asli pelafalan orang Indonesia karena adanya penambahan huruf /h/ di akhir kata, dan ini merupakan khas gaya pelafalan orang Jawa dalam menyebut rupiah. Mata uang Rupiah sering dikaitkan dengan mata uang Rupee. Namun, justru mata uang Rupee dapat juga dikatakan turunan dari kata rupia itu sendiri.
Tapi Anda tahu tidak, secara tidak sadar, orang Indonesia malah sering menyebut mata uang ini dengan nama perak”. Pernah tidak terpikir kenapa mata uang kita dipanggil “perak?
Menurut salah satu warga Kaskus, kata rupiah” berasal dari Bahasa Sansekerta, dari kata “Rupyah yang berarti /perak tempaan/. Sebelumnya, pada masa penjajahan Belanda, di Nusantara ini menggunakan sistem mata uang gulden Belanda pada tahun 1610-1817. Hingga kemudian diperkenalkanlah Gulden Hindia-Belanda. Nama Rupiah pertama kali digunakan secara resmi ketika dikeluarkan pada era pendudukan Jepang, Dai Nippon, pada Perang Dunia II. Nah, setelah Perang Dunia II itu selesai, Bank Jawa (red—Javasche Bank), cikal-bakal Bank Indonesia, mengeluarkan mata uang Rupiah. Sementara itu, tentara Sekutu mengeluarkan mata uang Gulden Nica. Jadi, ada dua sistem mata uang yang dipakai pada masa itu.
Jadi, mata uang Rupiah belum benar-benar dipakai ya? Yup, betul. Karena dua mata uang yang dipakai, pun bangsa kita masih dijajah, maka sistem mata uang masih mencari ‘bentuk’. Tapi, harus diketahui juga, pada masa pra-penjajahan alias masa-masa kerajaan, pada era ini juga sudah ada sistem mata uang yang dipakai tapi bentuk fisik dan nilainya masih belum standar.

Masa Kerajaan Mataram Kuno

Kerajaan Mataram Kuno mengalami kejayaan pada masa 850 M. Di wilayah ini, alat tukarnya menggunakan koin emas dan perak yang berbentuk kotak. Nominalnya pun berbeda-beda.


Masa Kerajaan Jenggala

Kerajaan Jenggala adalah kerajaan berkuasa yang terletak di timur Pulau Jawa. Pada masa kejayaannya (1042-1130), kerajaan ini menggunakan koin emas dan perak dalam perdagangan. Kerajaan ini juga menggunakan uang kepeng dari Cina sebagai alat pembayaran resmi. Ini menunjukkan bahwa kerajaan di Nusantara memiliki pengaruh hubungan dagang dengan bangsa Cina.
.

Masa Kerajaan Majapahit

Nah, ini salah satu keunggulan mata uang Rupiah dari mata uang Asia Tenggara lainnya. Proses kelahiran mata uang Rupiah di Nusantara tidak terlepas dari kedigdayaan salah satu kerajaan besar yang pernah ada di Nusantara, yaitu Majapahit. Pada masa kejayaannya, Majapahit tidak hanya menggunakan koin emas seperti mata uang Ma, tapi juga mata uang Tahil yang berupa koin emas. Bentuknya macam-macam, ada yang segiempat, setengah, seperempat lingkaran, segitiga, dan trapesium.

Masa Kerajaan Buton

Kerajaan ini memberi corak tersendiri dalam sejarah numismatik Rupiah di Nusantara. Menurut sejarah, kerajaan ini adalah kerajaan pertama yang menggunakan uang dengan berbahan kain tenun sebagai alat tukar. Mata uang mereka disebut Kampua, terbuat dari sehelai kain tenun persegi panjang yang ditenun putra-putri istana.


Kasha di Kesultanan Banten

Terdengar seperti nama perempuan cantik ya? Anda pasti tidak menyangka, mata uang Kasha adalah mata uang yang dipakai Kesultanan Banten pada era itu. Koin ini berbahan dasar emas. Dengan lubang bersisi enam, mata uang yang dipakai di kerajaan ini menunjukkan adanya pengaruh Cina pada desain dan pengaruh Arab pada ukiran.

Kerajaan Gowa mengeluarkan Jingara

Anda pernah dengar cerita Sultan Hasanuddin yang terkenal itu? Atau paling tidak pernah mendengar nama jalan di Jakarta bernama sama? Yup, betul! Sultan Hasanuddin adalah patriotik dari kerajaan ini. Jingara adalah mata uang yang dipakai oleh kerajaan ini. Berbahan dasar campuran timah dan tembaga.

Picis di Masa Kesultanan Cirebon

Anda pasti pernah dengar kata picis”, kan? Menurut KBBI Daring, “picis memiliki arti /uang yang bernilai sepuluh sen/. Dalam sejarahnya, Kesultanan Cirebon membuat mata uang mereka dengan bantuan seorang Cina, dan mata uang itu disebut Picis. Mata uang Picis berbahan dasar timah tipis dan mudah pecah.


Pengaruh Spanyol pada Mata Uang Kesultanan Sumenep

Untuk diketahui, sejarah uang di Indonesia di Kesultanan Sumenep memiliki pengaruh sistem mata uang Spanyol. Di kerajaan inilah pengaruh masuknya Spanyol ke Indonesia bisa diketahui. Selain menggunakan mata uang Spanyol sebagai alat tukar, kesultanan ini juga menggunakan uang gulden Belanda dan uang thaler Austria dalam sistem perekonomiannya.

Mata Uang Nusantara pada Masa Penjajahan

Penggunaan mata uang pada masa penjajahan tidak terlepas dari pengaruh Belanda sebagai negara penjajah Nusantara. Peran pemerintahan kolonial itu pun tidak terlepas dari yang namanya sebuah organisasi besar yang bergerak di bidang perdagangan, yaitu Vereenigde Oostindische Compagnie atau dikenal sebagai VOC. Pada masa itu, VOC secara tidak langsung menyebarluaskan penggunaan mata uang Gulden Hindia-Belanda (seperti gambar pertama tulisan ini) dalam kegiatan perekonomian di Nusantara. Waktu itu istilah Indonesia pun masih belum lahir.
Untuk diketahui, selain gulden Hindia-Belanda, wilayah Sumatra dan Jawa memakai dolar Sumatra dan rupiah Jawa. Kedua jenis mata uang ini hanya bisa bertahan sampai pada tahun 1824 Masehi. Pasti Anda bertanya, kenapa bisa punah? Motifnya jelas, pemerintah kolonial mengingkan hanya mata uangnyalah yang boleh dipakai.
Gulden pada masa penggunaannya sempat ditarik oleh pemerintah kolonial. Mengapa? Itu karena pada bentuk fisiknya ada ukiran Ratu Wilhelmina dengan rambut terurai. Penarikan dari peredaran ini dilakukan karena dianggap sebagai bentuk penggambaran tidak sopan terhadap seorang bangsawan, kepada ratu Belanda.
Mata uang gulden Hindia-Belanda ini punya pengaruh kuat. Bahkan, pada masa pemerintahan kolonial Jepang pun mata uang ini masih digunakan. Tapi, gulden pada masa penjajahan kolonial Jepang ini memiliki tulisan De Japansche Regering yang artinya /pemerintah Jepang/. Nah, selain gulden yang tertera tulisan itu, kolonial Jepang pun mengedarkan mata uangnya sendiri, Dai Nippon Teikoku Seihu.

ORI dan URIPS pada Awal Kemerdekaan

Oke, sekarang kita persempit. Dalam sejarah mata uang di Nusantara, berarti ada 3 (tiga) mata uang yang resmi beredar pada awal kemerdekaan, yaitu; mata uang Jepang (Dai Nippon Teikoku Seihu), gulden Hindia-Belanda, dan mata uang De Javasche Bank. Pihak yang paling mengalami kerugian adalah rakyat pada masa itu. Kondisi rakyat yang miskin itu makin diperparah dengan adanya kebijakan Panglima AFNEI yang menduduki Indonesia pada 1946. Isi kebijakan itu adalah pemberlakuan secara resmi mata uang NICA sebagai alat transaksi resmi dalam perekonomian sehari-hari di Nusantara. Ada banyak sekali yang protes. Kebijakan ini dianggap merugikan pribumi dan mengacaukan stabilitas perekenomian Nusantara yang baru saja meraih kebebasan; kemerdekaan.
Sikap pribumi Nusantara pada waktu itu adalah mengeluarkan kebijakan untuk tidak menggunakan mata uang NICA. Nah, cara mengatasi agar mata uang NICA tidak digunakan lagi adalah Nusantara mengeluarkan mata uang sendiri, maka lahirnya sistem mata uang ORI (Oeang Republik Indonesia).
Sejak diedarkan, ORI telah beredar selama empat tahun di masyarakat pada masa itu, yaitu 1945-1949. Menurut Wikipedia, penggunaan mata uang ORI secara sah dimulai pada tanggal 30 Oktober 1946. Nah, pada masa awal ‘penciptaan’ ORI inilah bentuk fisiknya masih sangat sederhana, dengan kualitas yang masih kurang pada sistem pengaman serat halus. Pada peredarannya, ORI terbagi atas 5 (lima) penerbitan.
1. ORI I (Tahun 1945)
Pada masa ini, ORI resmi diedarkan pada tanggal 30 Oktober 1946. Pecahannya mulai dari 1 sen, 5 sen, 10 sen, ½ rupiah, 1 rupiah, 5 rupiah, 10 rupiah, 100 rupiah.
2. ORI II (Tahun 1947)
Pada era ini, ORI II hanya memiliki empat pecahan mata uang, yaitu 5 rupiah, 10 rupiah, 25 rupiah, dan 100 rupiah. Pecahan 25 rupiah berbeda dengan tiga nominal lainnya. Untuk edisi ini, seluruh mata uang bertanggal Djokjakarta 1 Djanuari 1947 dan ditandatangani Mr Sjafruddin Prawiranegara.
3. ORI III (Tahun 1947)
Pada seri ini, ORI III terdiri dari tujuh jenis pecahan, yaitu dari ½ rupiah hingga 250 rupiah. Di era ini ada pecahan langka yaitu seri 100 rupiah Maramis. Pecahan ini hanya bisa dikalahkan oleh pecahan 600 rupiah di seri ORI IV.
4. ORI IV (Tahun 1948)
Seri ini memiliki nominal pecahan-pecahan yang sangat ganjil, yaitu 40 rupiah, 75 rupiah, 100 rupiah Hatta, 400 rupiah, dan salah satu karya terbaik dan terlangka, sekaligus termahal, nominal 600 rupiah (unissued).
5. ORI Baru (Tahun 1949)
Seri ini memiliki tingkat kesulitan sangat tinggi. Semua nominalnya pun sangat sukar didapatkan sehingga membuat para kolektor pun kesulitan melengkapi seri ini. Karena tingkat kesulitan yang sangat tinggi, tidak heran harganya juga tinggi. Seri ini memiliki pecahan-pecahan bernilai kecil, dimulai dari 10 sen (dua warna), ½ rupiah (dua warna), 1 rupiah, 10 rupiah (dua variasi), dan 100 rupiah.
Selain ORI, pada 8 April 1947, gubernur Provinsi Sumatera mengeluarkan mata uang rupiah Uang Republik Indonesia Provinsi Sumatera atau yang disebut URIPS. Namun, empat tahun setelah merdeka, Indonesia menetapkan rupiah sebagai mata uang kebangsaannya yang resmi dan baru.

Tahu Tidak?

Dari forum Kaskus, selain di Provinsi Sumatera, di daerah kepulauan Riau dan Papua pernah digunakan Dollar Malaya dan Nederland Niauw Guinea sebagai alat pembayaran dalam kegiatan perekonomiannya. Baru pada 1976 dan 1971 mata uang Rupiah digunakan secara resmi. Di daerah Timor-Timur, mata uang Rupiah digunakan dari tahun 1976 hingga 2001. Namun dari 2001 hingga sekarang di wilayah itu digunakan Dollar Amerika Serikat.

Asal-Usul Kata

Coba tanya diri Anda sendiri? Mengapa mata uang kita disebut dengan kata duit? Dari mana asal kata duit itu? Misalnya dalam perkataan, “Bro, duit lo berapa? Jalan-jalan ke Monas yuk?” Menurut penelusuran saya di Kaskus, masyarakat di kota-kota besar umumnya menyebut duit” untuk “uang”. Kemungkinan besar istilah “duit berasal dari kata Doit. Hal ini ditulis oleh Djulianto Susantio, seorang pemerhati sejarah dan budaya. Menurut tulisan beliau di laman Kompas, kata duit dipercaya berasal dari kata Doit, yakni sebutan bagi uang receh kuni Eropa dari abad ke-14. Pada awalnya, Doit terbuat dari bahan perak dengan nilai tukar hampir setara dengan 1/8 Stuiver. Pada era itu, 1 Gulden = 20 Stuiver. Jadi, 1 Gulden = 160 Stuiver.
Waktu itu, Doit menjadi satuan mata uang terkecil di Belanda, seperti hal Penny di Inggris. Nah, sejak 1573, Doit tidak lagi terbuat dari perak. Bahannya diganti dari tembaga agar menjadi lebih murah.
Doit masuk ke Kepulauan Nusantara, terutama Batavia, sejak 1726. Dan seiring dengan waktu, pemerintah Belanda mengizinkan VOC untuk menempa sendiri koin receh Doit di Batavia. Doit yang dibuat di Batavia terdiri dari dua jenis. Pertama, berbahan tembaga dengan ciri berbentuk bundar, berwarna coklat, bertuliskan JAVA, dan dilengkapi angka tahun pembuatan. Kedua, berbahan timah dengan ciri berbentuk bundar, berinisial LN dan lambang VOC, ada tulisan Arab-Melayu duyit, dan memiliki angka tahun pembuatan.
Oleh karena para pegawai di Batavia terlalu sering menerima doit atau duyit alias uang recehan, maka istilah itu menjadi sangat akrab di telinga mereka. Lama-kelamaan istilah itu menjadi duit, sesuai lidah bangsa Indonesia. Istilah itu terus dikenal hingga sekarang di Jakarta dan daerah-daerah lain.
Selain emas dan tembaga, di Nusantara juga pernah beredar alat tukar pembayaran yang terbuat dari perak. Jadi, Anda jangan heran kalau sampai sekarang kita suka menambahkan kata perak”. Kata “perak adalah kata tidak formal untuk menyebut rupiah. Jadi kalau ada orang bicara, seribu rupiah misalnya, maka yang dimaksud orang itu juga identik dengan seribu perak”. Istilah “duit” dan “perah juga sangat dominan dipakai oleh masyarakat Jakarta, bahkan masyarakat daerah lain.
Nah, sekarang Anda sudah tahu kan sejarah mata uang negara kita. Sekali waktu Anda gunakan uang, coba pikirkan seberapa jauh bangsa ini merancang sistem keuangannya agar bisa maju dengan bangsa lain. Untuk belajar lebih dalam tentang sejarah Rupiah dengan sajian animasi, Anda bisa nonton di Sejarah Uang dan Sejarah Bank Sentral.

0 komentar:

Posting Komentar