Pages

Kamis, 28 Agustus 2014

Sintesa: Sebuah Teori Nilai Kebersamaan


Ada perbedaan pokok pemikiran dari Sintesa sebagai hasil dari penafsiran manusia yang ada di dalamnya di dalam koridor epistemologis “Satu Ikatan Mahasiswa Tegal Bersaudara”. Ada yang penafsirannya menekankan kepada “satu ikatan Mahasiswa Tegal” dan ada yang cenderung menekankan kepada “Mahasiswa Tegal Bersaudara”, dua entitas ini kemudian menjadi sebuah sudut pandang dialektika tentang sistem formal dan nilai kebersamaan. Entitas formal “Satu Ikatan Mahasiswa Tegal” diciptakan dengan keharusan menciptakan sistem yang professional dan terikat dengan yang dinamakan lembaga organisasi. Sedangkan mereka yang menerjemahkan “Mahasiswa Tegal Bersaudara” sebagai nilai kebersamaan menunjuk kepada entitas universal yang tidak perlu dijabarkan dalam sistem terikat sehingga menyebutnya paguyuban.
Kasus dualisme antara entitas formal kelembagaan dan nilai kebersamaan ini terjadi tidak hanya di Sintesa tetapi juga pada sekumpulan orang Tegal yang membentuk komunitasnya masing-masing di ranah mahasiswa seperti IST Stan, Hipotesa, Imaste, IMT Ciputat atau pada segmen yang berbeda tetapi dengan dasar yang sama seperti Dewan Kesenian Tegal, TegalCyber.org, Kaskus Regional Tegal, Pengguna Linux Tegal, Komunitas Musisi Tegal, Paguyuban Ketoprak Tegal, Paguyuban Nasi Goreng Bojong, Paguyuban Warteg, hingga sekelas para pejabat dan pengusaha seperti di IKBT. Semuanya terjerat dengan paradigma antara entitas formal organisasi dan nilai guyub kebersamaan: program kerja dengan peseduluran oriented.
Definisi organisasi (jamiyah-kumpulan) dengan paguyuban (ma’a-kebersamaan) sendiri berbeda. Organisasi secara umum adalah kelompok yang secara bersama-sama ingin mencapai suatu tujuan. Definisi ini dipersempit dari definisi Cyrill Soffer, Kast Rozenzweig yang menekankan pada orientasi pembagian tugas, hasil, dan penekanan tujuan. Organisasi pun secara umum dibagi menjadi klasik, neoklasik, dan modern. Mengacu kepada teori ini saya berpendapat Sintesa dan semua komunitas di atas tidak masuk ke dalam tiga aliran pembagian organisasi karena kita tidak menjadi tuts piano yang statis dalam pembagian organisasi termasuk dalam birokrasi, administrasi, dan manajemen ilmiah (teori klasik).
Kita tidak punya insentif dalam produktifitas (teori neoklasik), maupun memiiki sistem terbuka yang mempunyai perancangan anggaran organisasi dalam setahun (teori modern) meskipun pada prakteknya kita sering menyebut dengan “organisasi” atau “organisasi non profit” karena memang telah disepakati demikian di dalam AD ART Sintesa yang lama. Ini hanya masalah penyebutan dan display yang didukung oleh definisi dari pemerintah. sebenarnya Sintesa yang kita ikuti menurut pemerintah adalah organisasi yang bersifat sosial. Definisi organisasi sosial adalah organisasi yang dibentuk oleh sekumpulan masyarakat untuk menampung partisipasi dalam membangun bangsa dan Negara secara swadaya. Organisasi sosial adalah salah satu wadah partisipasi masyarakat dalam memberikan pelayanan sosial secara swadaya seperti diatur Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.
Dalam hati, daripada ikut definisi pemerintah di atas saya lebih suka Sintesa mempraktekan konsep-konsep paguyuban karena Paguyuban adalah perkumpulan para pekerja ahli yang alamiah dari masyarakat. Selama ribuan tahun, masyarakat beradab mengatur perdagangan mereka melalui paguyuban. Sepanjang sejarah, sistem paguyuban mewakili gerak hati alamiah masyarakat untuk memerintah dirinya sendiri menghadapi perubahan-perubahan mengikuti perkembangan dan kemajuan. Tentu saja kemudian paguyuban secara konkrit akan menjadi semacam keluarga tanpa menunggu kebijakan-kebijakan pemerintah.
Bagi yang terbiasa dengan formalisasi, tentu Sintesa akan dijabarkan dengan keterikatan terhadap sebuah sistem yang dianggap mewakili seluruh dari perwujudan nilai yang ada di dalamya. Tentu saja ini akan merujuk pada organisasi yang sifatnya adalah aktif sehingga otomatis mereka yang tidak aktif akan tersisih. ini artinya jika diterapkan konsep organisasi secara berlebihan dalam paguyuban maka anggota Sintesa yang tidak aktif akan menjadi anggota kelas dua yang disisihkan dari nilai kebersamaan.
Ini patut dipersoalkan karena beda antara pengurus Sintesa, anggota Sintesa, dan Sintesa itu sendiri sedangkan ketiga kelas struktur ini mempunyai hak yang sama: dirangkul Sintesa, memiliki Sintesa, menyampaikan aspirasi, ikut berperan serta memajukan Sintesa. Setiap anggota berhak menyatakan buah pandangan atau partikularitasnya di antara anggota Sintesa lain. Dengan demikian, menjadi jelaslah bagi kita bahwa perbedaan pendapat justru sangat dihargai oleh Di Sintesa ini, karena yang tidak diperbolehkan bukannya perbedaan pandangan, melainkan pertentangan dan perpecahan
Dengan demikian, “kesempurnaan sistem” Sintesa sebagai paguyuban, tidak didasarkan pada kekuatan atau wewenang pengurus, melainkan pada kemampuan akal kita sebagai anggota untuk melakukan pemikiran orisinil (ijtihad) sendiri-sendiri untuk memikirkan bentuk-bentuk persaudaraan dan tidak usah menunggu proker dari pengurus. Contohnya program moci bersama (sebagai simbol kebersamaan wong Tegal) tidak usah menunggu dijadikan proker, tetapi saya sendiri dan anak-anak Sintesa sudah mulai mengadakannya dalam komunitas yang lebih kecil. Dalam pandangan saya, kesadaran bersama seperti inilah yang harus kita pelihara dan bukannya diutusnya Nabi kita Muhammad Saw, untuk membawakan persaudaraan di antara sesama manusia?
Melihat kepada “kenyataan” tersebut, jelaslah bahwa di dalam Sintesa kita harus menghindari hidup secara individual (perorangan), melainkan kita harus membuat komunitas masing-masing karena Sintesa sebagai komunitas besar adalah kumpulan komunitas kecil. Bahkan yang memprihatinkan kadang ada anggotanya yang menyendiri atau hanya punya satu dua orang dalam komunitasnya, semua harus berusaha dirangkul. Ini akan menjadikan keseimbangan antara hak-hak dan kewajiban- kewajiban perorangan (individual) dan secara bersama (kolektif). Dalam kehidupan masyarakat Sintesa “kenyataan”. seperti ini harus terus-menerus kita sadari dalam sebuah kehidupan bersama
Dalam sejarah umat manusia, selalu terdapat kesenjangan antara teori dan praktek. Terkadang kesenjangan itu sangatlah besar, dan kadang kecil. Apa yang oleh paham komunisme dirumuskan dengan kata “rakyat”, dalam teori dimaksudkan untuk membela kepentingan orang kecil; tapi dalam praktek justru yang banyak dibela adalah kepentingan kaum aparatchik. Itupun berlaku dalam orientasi paham tersebut, yang lebih banyak membela kepentingan pengurus Sintesa daripada kepentingan anggota Sintesa secara menyeluruh. Karena itu, kita harus berhatihati dalam merumuskan orientasi paham ke-Sintesaan, agar tidak mengalami nasib seperti paham komunisme. Orientasi kita harus kesejahteraan umum berdasarkan objek yang diambil dari seluruh tindakan pengurus.
Nah, di sinilah terletak arti penting deskripsi tentang Sintesa. Dari manakah ia harus dilihat? Dari kenyataan hidup anggotanya (berarti deskripsi empirik), ataukah dari sudut ajaran formal (berarti pendekatan ideal-formalistik) yang bersifat teoritik? Tergantung dari kemampuan kita menjawab hal ini dengan baik. Dari situ “nasib” masa depan Sintesa diuji. Inti dari pandangan seperti itu, terletak pada kesadaran bahwa Sintesa sebagai nilai kebersamaan harus lebih berfungsi nyata dalam kehidupan, daripada membuat dirinya menjadi wahana formalisasi organisasi dengan image building yang tinggi.
Dalam khasanah pemikiran ini, salah satu adagium “harta warisan“ yang sering saya pakai sebagai patokan adalah: “memelihara apa yang baik dari masa lampau, dan menggunakan hanya yang lebih baik yang ada dalam hal yang baru (al-muhâfadzatu’ala al-qadîmi al sâlih wa al akhdzu bi al jadîd al-ashlah).” Apa yang lama dari Sintesa? Jawabannya adalah SGTT, SBB dan semisalnya. Apa yang baru? Contohnya lihat project Chilman Adjie tentang jejaring sosial Sintesa. Ya. Semua butuh dirangkul dan dihargai di sini.

0 komentar:

Posting Komentar