Pages

Rabu, 27 Agustus 2014

Sejarah Perkembangan mata-uang Indonesia ( 1 )

Lihat daftar artikel.
Sejarah Perkembangan Mata Uang Indonesia
Seperti yang sering dialami oleh sejarahwan, mereka selalu mengalami kesulitan dalam menyusun sejarah Indonesia, terutama penulisan sejarah dalam periode abad 16 ke bawah. Minimnya data serta tidak terbiasanya dilakukan pencatatan secara tertulis pada jaman dulu, benar-benar sangat memerlukan penelitian-penelitian yang lebih mendalam. Walaupun ada informasi, namun hanya berwujud secuil info saja, yang harus dikorek dan digali lebih lanjut untuk mendapatkan gambaran yang lebih besar dan lebih jelas.
Scan 01.JPG
Jika menyusun sejarah Indonesia secara umum saja sudah sedemikian susah, apalagi membuat penelitian sejarah yang lebih spesifik lagi, yaitu mata uang! Ibarat menyusun sebuah "puzzle", bagian ujung sudah terisi, tetapi yang di tengah belum ada. Bagian atas sudah tersusun, tapi yang bawah masih gelap. Perlu waktu bertahun-tahun untuk melengkapi agar suatu tulisan sejarah mata uang ini dapat menjadi suatu kesatuan yang berkesinambungan. Memang ada buku-buku yang ditulis pada jaman-jaman tersebut, seperti misalnya buku Nagarakartagama, namun uraian tentang mata uang hampir tidak pernah ada sama sekali. Untuk periode abad ke VII ke atas, yaitu sejak kedatangan VOC di Nusantara, data lebih mudah didapatkan karena lengkapnya catatan-catatan mereka dalam melaporkan setiap perkembangan kepada dewan direksi (The Seventeen Gentlemen) di negeri Belanda. Setelah melakukan penelitian selama bertahun-tahun, maka jadilah suatu rangkaian sejarah mata uang yang diberi judul: Sejarah Perkembangan Mata Uang Indonesia.
Scan CoinKepeng.JPG
Adapun maksud dari perkembangan di sini adalah: semua mata uang, baik mata uang tersebut buatan lokal maupun asing, yang dahulu pernah beredar dan dapat diterima sebagai alat pembayaran di wilayah Indonesia. Sebagai contoh, koin VOC dan Belanda. Walaupun bukan koin asli Indonesia, tetapi selama kurang lebih 350 tahun koin-koin tersebut pernah beredar sebagai alat tukar menukar yang dapat diterima oleh masyarakat. Koin-koin Cina dengan ciri khas mempunyai lubang ditengah, itupun bukan koin Indonesia. Namun koin-koin tersebut pernah digunakan sebagai alat pembayaran yang sah, bahkan dalam kurun waktu yang lebih lama dari koin-koin Belanda!
Koin kepeng Cina telah digunakan sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia selama kurun waktu 900 tahun atau 9 abad! Bahkan di Bali, koin-koin Cina tersebut masih dipakai sebagai alat pembayaran sampai dengan jaman Republik tahun 1950! Dalam melakukan penulisan ini, saya yakin, bahwa tulisan ini pasti masih ada bagian yang bolong-bolong, namun kekurangan itu diharapkan tidak sampai mempengaruhi keutuhan dari rangkaian sejarah itu sendiri. Akhir kata, semoga tulisan ini dapat bermanfaat bukan saja bagi kita kalangan Numismatik, tetapi dapat berguna juga bagi negara dan bangsa Indonesia!
Berdasarkan jamannya, perkembangan mata uang Indonesia dapat dibagi dalam beberapa periode
  1. Jaman Kerajaan Hindu Buddha (800/850 – 1.300 Masehi)
  2. Jaman Perdagangan
    1. Perdagangan dengan Cina (850–1900)
    2. Perdagangan dengan VOC (1602-1799)
  3. Jaman Pemerintahan Hindia Belanda (1800-1945)
    1. Pendudukan Perancis (1806–1811)
    2. Pendudukan Inggris (1811–1816)
  4. Jaman Pendudukan Jepang (1942–1945)
  5. Jaman Pemerintahan Republik Indonesia (1945-sekarang)
    1. Sukarno (1945–1967)
    2. Suharto (1967–1998)
    3. B.J Habibie (1998–1999)
    4. Abdurrachman Wahid (1999–2001)
    5. Megawati Sukarnoputri (2001-2004)
    6. Susilo Bambang Yudhoyono (2004-sekarang)
  6. Mata uang lainnya
    1. Kerajaan-Kerajaan di Jawa (Banten, Cirebon, Sumenep)
    2. Kerajaan Samudra Pasai dan Aceh
    3. Kerajaan Palembang
    4. Kerajaan-Kerajaan di Kalimantan (Pontianak, Banjarmasin, Maluka)
    5. Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi (Gowa, Buton)
    6. British East India Company di Sumatra
    7. Token-token perkebunan dan pertambangan

Contents

 [hide]

Jaman Kerajaan Hindu Buddha (800/850–1.300 Masehi)

Berdasarkan inskripsi-inskripsi jaman dulu, koin Indonesia yang dicetak pertama kali adalah sekitar tahun 800-850 Masehi, yaitu pada jaman kerajaan Mataram Syalendra yang berpusat di Jawa Tengah. Koin-koin tersebut dicetak dalam dua jenis bahan, yaitu dari perak dan emas. Dan berdasarkan Prasasti Bulai sekitar tahun 860 Masehi, standar untuk berat dan nilainya adalah:
  • Masa (biasa disingkat Ma), mempunyai berat standar 2,4 gram
  • Atak, adalah setengan dari Masa, atau mempunyai nilai dua Kupang (dua Ku). Berat standar satuan Atak adalah 1,2 gram.
  • Kupang (disingkat Ku), mempunyai berat standar 0,60 gram, dan biasanya disebut seperempat Masa.
Syailendra.JPG
Koin-koin emas dan perak yang dicetak pada jaman dinasti Syailendra mempunyai bentuk sangat kecil. Koin emasnya berbentuk seperti kotak, dimana koin dengan satuan terbesar (Masa) Pada bagian depanya terdapat huruf Devanagari "Ta" (Singkatan dari "Tahil"). Di belakangnya terdapat incuse (lekukan kedalam) yang dibagi dalam dua bagian, masing-masing terdapat semacam bulatan. Dalam bahasa numismatik pola ini dinamakan "Sesame Seed" pattern. Sedangkan koin perak Masa mempunyai diameter antara 9-10 mm. Pada bagian muka dicetak huruf Devanagari "Ma" (Singkatan dari Masa), dan di bagian belakangnya terdapat incuse dengan pola bunga cendana.
Dalam perkembangannya, Kerajaan Syailendra pada waktu itu semakin meluaskan wilayahnya, bahkan sampai ke daerah–daerah Jawa Timur. Adapun pelabuhan-pelabuhan di Jawa Timur, seperti Tuban, Gresik, dan Surabaya, banyak berdatangan para pedagang dari mancanegara. Jawa Timur sebagai daerah maritim, akhirnya semakin maju dibandingkan dengan kerajaan induknya di Jawa Tengah yang merupakan daerah agraris. Pada waktu itu (Jaman Dinasti Tang, tahun 618-907 Masehi), orang-orang Cina sudah mulai banyak berdatangan ke tanah Jawa untuk melakukan perdagangan. Mereka membawa mata uang sendiri yang disebut "Cash" atau "Caixa", Cassie, Pitje, atau orang Jawa menyebutnya Kepeng, dengan ciri khas terdapat lubang persegi di tengahnya. Koin-koin Cina ini lambat laun dapat diterima sebagai alat pembayaran yang sah.
Pada kira-kira tahun 928 Masehi, gunung Merapi meletus dahyat, yang mengakibatkan rusaknya hampir seluruh sendi-sendi perekonomian kerajaan. Karena alasan di atas, serta makin majunya daerah Jawa Timur, maka pada tahun 929 diputuskan untuk memindahkan ibukota kerajaan, dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Walaupun koin-koin tetap dicetak dengan berat seperti standar awal, tetapi lama kelamaan mengalami proses perubahan bentuk dan disainnya. Koin emas yang semula berbentuk kotak berubah desain menjadi bundar, sedangkan koin peraknya mempunyai desain berbentuk kecubung, dengan diameter antara 13-14 mm.
Pada Jaman Dinasti Sung di Cina (960-1279) merupakan puncak-puncaknya dimana banyak sekali orang Cina yang datang ke Jawa untuk berdagang. Bersamaan dengan kedatangannya, dibawa juga koin-koin kepeng Cina untuk dipakai sebagai alat pembayaran. Saking banyaknya jumlah peredaran uang kepeng tersebut, yang akhirnya menyisihkan mata uang lokal yang terbuat dari perak dan emas Masa dan Tahil. Hal-hal yang mungkin dapat dijadikan alasan, karena uang kepeng mempunyai lubang ditengahnya, sehingga praktis untuk dibawa kemana-mana dan tidak mudah hilang. Biasanya uang itu direnteng dalam ikatan 1.000 buah per ikatnya. Alasan lainya bahwa koin perak dan emas lokal merupakan mata uang dalam pecahan besar. Masyarakat sangat membutuhkan uang-uang dalam nilai pecahan kecil, yang sangat diperlukan untuk perdagangan. Sebagai contoh, satu ekor kambing pada akhir abad ke IX, dapat dibeli dengan 4 perak Masa!
Majapahit.JPG
Sebenarnya koin-koin perak dan emas yang sudah mengalami perubahan bentuk itu merupakan produk dari kerajaan-kerajaan di Jawa Timur, yaitu Daha dan Jenggala. Namun karena kerajaan Majapahit (1293-1528) pada waktu itu merupakan kerajaan besar di Asia Tenggara, maka biasanya kita menamainya sebagai koin-koin emas dan perak Majapahit. Padahal sejak akhir abad ke XIII, mata uang yang digunakan sebagai pembayaran adalah koin-koin kepeng dari Cina.

Jaman Perdagangan

Gobogcina.JPG
Mungkin banyak yang bertanya-tanya, kenapa pada periode tersebut diklasifikasikan sebagai jaman-jaman perdagangan? Apakah pada waktu itu hanya orang-orang Cina dan Belanda (melalui perusahaan VOC) saja yang berdagang di Indonesia? Nama Jawa sejak jaman dulu mempunyai daya tarik tersendiri bagi semua orang asing, entah itu Portugis, Inggris, Belanda, Spanyol, India ataupun Cina. Jika orang Itali pada jaman dulu banyak yanag melakukan eksodus ke tanah emas Amerika, maka orang-orang Cina pada waktu itu melihat "Nan-Yang" atau Negara-negara Asia Tenggara, terutama Pulau Jawa sebagai Tanah Harapan.
Sebenarnya bukan hanya orang-orang Cina dan VOC (Belanda) saja yang berdagang di Jawa, tapi kedua bangsa itulah yang paling dominan dalam melakukan perdagangan di Jawa. Dan dari mata uang Cash Cina dan mata uang "Kompeni" inilah yang telah memberikan pengaruh yang sangat besar bagi sejarah dan perkembangan numismatik Indonesia.

Perdagangan Dengan Cina

Gobogcina2.JPG
Pada awalnya, pedagang-pedagang Cina mulai banyak masuk ke tanah Jawa kira-kira pada jaman dinasti Tang di Cina (618-907 Masehi). Namun jauh sebelum itu, nama Jawa sudah ada dalam catatan sejarah di Cina. Dengan Jung-jungnya (kapal Cina), mereka mendarat di pelabuhan-pelabuhan Jawa Timur, seperti di Tuban, Gresik dan Surabaya. Pada waktu itu di Jawa Timur terkenal dengan produksi ladanya, disamping kulit penyu, cula badak, gading, emas dan perak. Dalam melakukan perdagangannya, orang-orang Cina memperkenalkan dan menggunakan koin-koin Cina (Cash) sebagai alat tukar, yang akhirnya dapat diterima oleh penduduk sebagai alat pebayaran.
Puncaknya adalah pada masa pemerintahan Dinasti Sung di Cina (960-1279), dimana berjuta-juta keping koin Cina membanjiri Jawa, yang mengakibatkan koin lokal emas dan perak Masa akhirnya tidak digunakan lagi sebagai alat pembayaran, diganti fungsinya dengan koin-koin Cina itu.
Setelah terjadi penyerbuan oleh Dinasti Yuan / Mongol (1279–1368 Masehi) ke tanah Jawa pada tahun 1291 Masehi, yang akhirnya memunculkan kerajaan besar "Majapahit", maka terjadi stagnasi dalam hubungan perdagangan kedua negara tersebut. Tetapi stagnasi ini juga tidak berlangsung lama. Hubungan diplomatik mulai diperbaiki, dan akhirnya perdagangan mulai berjalan seperti semula.
Pada waktu bertahtanya kaisar Yong Le (1403-1425 Masehi) dari Dinasti Ming, raja memerintahkan Laksamana Cheng Ho untuk melakukan perjalanan muhibah ke banyak negara, yang salah satunya adalah tanah Jawa. Pada tahun 1405 Masehi, Cheng Ho untuk pertama kalinya mendarat di kota Tuban, Jawa Timur. Setelah itu mereka pergi ke Gresik, lalu ke Surabaya, dan akhirnya ke Majapahit, dimana raja bertempat tinggal.
Dalam misinya, Cheng Ho ditemani oleh seorang juru tulis dan juga sebagai penerjemah yang sama-sama pemeluk agama Islam, yang bernama Ma Huan. Berikut ini beberapa petikan dari buku "Ying Yai Sheng Lan" yang ditulis oleh Ma Huan (terbit tahun 1416), mengenai apa yang dilihatnya pada waktu itu:
"Koin-koin Cina dari berbagai dinasti, umum digunakan disini"......."Dalam melakukan transaksi, pembayarannya memakai koin-koin cash tembaga Cina dari berbagai dinasti"......."Orang-orang disini (Jawa Timur) sangat senang dengan porselin-porselin Cina dengan motif Hijau bunga, kain sutra, manik-manik,dll. Mereka membelinya dengan uang-uang cash"......
Pada tahun 1478, Majapahit diserang oleh kerajaan Islam Demak, yang berakhir dengan kemenangan Demak. Untuk selanjutnya Majapahit berstatus sebagai negara bawahan dari kerajaan Demak, hingga akhirnya pada kira-kira tahun 1528 kerajaan Majapahit dibumihanguskan oleh Demak. Dengan matinya Majapahit di bagian Timur, telah muncul kota dagang lainnya yang semakin hari semakin ramai di bagian barat, yaitu Bantam (Banten). Pada akhir dinasti Ming (1368-1644 Masehi), orang-orang Belanda melalui perusahaan VOC tahun 1602 mulai masuk ke Indonesia. Pada awalnya VOC membawa koin-koin perak Real (Real Baru dan Real Bundar) untuk transaksi perdagangan, yang ternyata mata uang yang dipakai sebagai alat perdagangan adalah uang Cina.
Pada jaman Ming pula pernah terjadi keguncangan moneter di Cina akibat dari kelangkaan uang yang beredar disana. Hal ini disebabkan karena banyaknya mata uang cash yang diekspor ke Jawa. Akhirnya pemerintah Ming melakukan larangan untuk mengeksport uang Chi’ien tersebut ke luar negeri, termasuk Jawa. Walaupun nantinya kran dibuka kembali, namun larangan tersebut telah mengakibatkan kekosongan mata uang dalam pecahan kecil. VOC akhirnya melakukan import uang-uang tembaga bolong dari negara-negara lain, seperti Jepang, Korea, dan Vietnam. Disamping itu mulai dibuat uang-uang Picis (Tiruan dari koin-koin Cina), yang terbuat dari timah (tin) atau dari timbal (lead). Koin-koin dari Jepang, Korea dan Vietnam diatas, serta uang-uang Picis tiruannya, sampai sekarangpun masih dapat ditemui di tanah Jawa.
Pada tahun 1723 Jepang yang kali ini menghentikan export uang Cash. Karena Jung-jung Cina yang biasa mempunyai suply belum datang, maka pada waktu itu terjadi kekosongan uang pecahan kecil. Oleh karena itu, VOC meminta kepada negeri Belanda untuk dibuatkan koin-koin bernilai kecil, yang pertama kalinya dicetak pada tahun 1726. Naum koin-koin cash tetap beredar bersamaan dengan doit tembaga versi Belanda. Pada waktu berkuasanya dinasti Qing di Cina tahun 1644–1911, import koin cash tetap dilakukan oleh Belanda guna dipakai di Jawa dan Bali. Terutama di Bali, Belanda telah berkali-kali mencoba mencetak doit dengan tengahnya yang berlubang untuk menggantikan koin cash Cina yang biasa dipakai di Bali.

Perdagangan Dengan VOC (1602–1799)

Tahun 1595 untuk pertama kalinya kapal-kapal Belanda menginjak daratan Indonesia. Ekspedisi ini dikepalai oleh dua bersaudara, Coernelis dan Frederick de Houtman, dengan armadanya yang terdiri dari 4 kapal dengan 249 awak kapal dan 64 meriam. Mereka mendarat di pelabuhan Banten untuk membeli rempah-rempah yang pada waktu itu sangat menguntungkan di pasaran Eropa.
PetaAmbon.JPG
Setelah beberapa lama di Banten, karena memang perangainya yang kasar, Cornelis terlibat keributan yang akhirnya ditahan oleh penguasa Banten, dari bulan September 1595 sampai Februari 1596. Namun akhirnya dia bisa kembali kenegerinya setelah dibayar uang tebusan untuk pembebasannya. Keberhasilan de Houtman ini akhirnya diikuti oleh perusahaan-perusahaan Belanda lainnya, dan mulailah masa perlombaan mencari rempah-rempah di Indonesia, terutama di Jawa dan Maluku.
Pada bulan Maret 1599, Jacob van Neck untuk pertama kalinya berhasil mencapai "pulau rempah-rempah" Maluku. Dari ekpedisi tersebut, mereka memperoleh keuntungan yang sangat besar. Setelah itu dua perusahaan Belanda, Yaitu United Amsterdam Company (1594–1602), dan United Zeeland Company (1597–1602), juga ikut meramaikan ekspedisi ke Indonesia. Mereka juga mencetak mata uangnya sendiri guna dipakai sebagai alat pembayaran. Pada tahun 1601 Amsterdam Company mencetak koin-koin perak dengan pecahan ¼, ½, 1, 2, 4 dan 8 Reals. Sedangkan Zeeland Company mencetak koin peraknya dengan pecahan 8 Reales pada tahun 1602. Koin-koin dari kedua perusahaan Belanda tersebut sangat langka sekali, dan mempunyai nilai jual yang sangat mahal.
Spanyol.JPG
Perlombaan mencari rempah-rempah di Nusantara akhirnya menimbulkan persaingan usaha, yang pada akhirnya malah merugikan bisnis mereka sendiri. Harga rempah-rempah melonjak tajam, sehingga keuntungan yang diperoleh menjadi semakin tipis. Akhirnya pada bulan Maret tahun 1602, kedua perusahaan tersebut dilebur, dan didirikan sebuah perusahaan dagang baru yang dinamakan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie). Dalam melakukan perdagangannya, VOC diberi mandat penuh oleh pemegang saham untuk merekrut pasukannya sendiri, mengumumkan perang, mendirikan benteng-benteng, dan yang terutama sekali menghancurkan musuh-musuh dagangnya, seperti Portugis, Spanyol dan Inggris. VOC harus memberikan laporan-laporan kegiatanya kepada "ke 17 Tuan-tuan di negri Belanda" yang disebut "Heeren XVII" atau "The Seventeen Gentlement". Tuan-tuan ini adalah wakil dari 6 daerah di Belanda, yang merupakan pemegang saham dari perusahaan VOC.
Selama lebih dari seabad sejak tahun 1602 VOC melakukan monopoli perdagangan di kepulauan Indonesia, mereka tidak pernah mencetak koinnya sendiri untuk diedarkan di Hindia Belanda. Walaupun pernah dicetak koin-koin dengan lambang VOC pada tahun 1644 dan 1645, namun koin-koin tersebut adalah koin darurat (Emergency coin) guna menanggulangi langkanya koin-koin dalam pecahan kecil, dan bukan produk resmi dari VOC. Yang pertama adalah berbahan tembaga, dicetak kira-kira pada bulan Agustus tahun 1644, dengan pecahan ¼ dan ½ Stuiver. Koin-koin ini dicetak oleh seorang Cina yang tinggal di Batavia, yang bernama Conjok. Namun pada tanggal 21 September 1644, koin-koin tersebut ditarik karena The Seventeen melarang koin-koin tersebut digunakan dalam peredaran.
Voc.JPG
Sedangkan koin-koin dengan 1645 adalah koin-koin perak, dengan pecahan 12, 24, dan 48 Stuiver. Koin-koin ini juga dicetak oleh Conjok bersama seorang ahli emas bangsa Belanda yang tinggal di Batavia, yang bernama Jan Ferman, kira-kira pada bulan Maret 1645. Setelah koin-koin ini diedarkan, muncul banyak sekali pemalsuan, sehingga pada tanggal 23 September 1647, koin-koin inipun harus berhenti dalam peredaran. Koin perak Batavia dengan tahun 1645 ini keberadaanya sangat langka sekali. Koin dengan pecahan 48 Stuiver pernah dilelang pada tahun 1989 dengan nilai US$32.000!
Koin VOC yang pertama kali dicetak secara resmi adalah koin tembaga 1726 dengan pecahan 1 Doit (Duit). Koin-koin tersebut pada awalnya dicetak di Dordrecht, Holland, dimana pada satu sisi terdapat lambang VOC dan pada sisi lainya terdapat lambang provinsi Holland. Setelah itu dicetak koin-koin dari provinsi lainnya seperti Gelderland, Utrecht, West Friesland, dan Zeeland. Koin-koin ini dinyatakan tidak berlaku di negeri induknya Belanda,
Karena hanya diedarkan hanya untuk daerah dimana VOC berada. Peredaran doit tembaga ini cukup luas karena diedarkan juga di daerah Coromandel, Cochin, Malaka dan Ceylon. Adapun nilai penukaran untuk 1 Stuiver = 4 Doit.
Karena kebutuhan uang dengan nilai nominal yang lebih kecil, maka untuk pertama kalinya tahun 1749 Holland mencetak mata uang tembaga dengan pecahan setengan Doit. Selain dari tembaga, koin-koin Doit dan setengah doit juga dicetak dengan bahan perak. Walaupun demikian koin-koin bolong Cash Cina tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah, bersamaan dengan Doit Kompeni tersebut.
VOC juga mencetak koin-koin perak dengan sebutan "Ducaton" atau "Silver Ryder". Dinamakan Silver Ryder karena koin yang terbuat dari perak itu pada sisi mukanya terdapat gambar seorang menaiki kuda. Nilai tukar untuk satu Dukat sama dengan 60 Stuiver atau bernilai 240 Doits.
Disamping koin dukat penunggang kuda, dicetak juga koin perak dengan pecahan ½, 1, dan 3 Gulden, dengan gambar Dewi Pallas yang sedang berdiri sambil memegang tongkat. Orang lokal menyebut koin ini sebagai "Koin Tongkat", dimana untuk setiap guldennya mempunyai nilai 20 Stuivers atau sama dengan 80 Doit.
Tahun 1743, setelah era Sultan Agung berakhir, VOC melakukan perjanjian dengan kerajaan Mataram di Jawa Tengah. Salah satu isi dari perjanjian tersebut adalah pemberian hak kepada VOC untuk mencetak mata uangnya sendiri. Berdasarkan hak tersebut, VOC membuat uang dengan desain tulisan dalam huruf arab pada kedua sisinya. Uang ini dikenal dengan nama "Derham Djawi" atau "Java Ducat" atau "Gold Rupee" (untuk koin emas), dan "Silver Java Rupee" (untuk koin Peraknya).
Percetakan uang di Batavia yang diberi kesempatan untuk mencetak koin ini pada tahun 1744, koin yang pertama kali dicetak oleh VOC di Batavia. Desain koin dibuat oleh Mintmaster Theodorus Justinus Rheen, yang pada tahun 1745 digantikan oleh Paulus Dorsman sebagai Mintmaster di Batavia. Pada bagian muka terdapat tulisaan dalam bahasa Arab: "Lla djazirat Djawa al-kabir", sedang di bagian belakangnya: "Derham min Kompani Welandawi". Yang artinya: "Uang milik perusahaan Belanda untuk Pulau Jawa Besar". Koin derham emas ini mempunyai nilai sebesar 16 Silver Rupee atau 16 Gulden. Dalam peluncuranya, koin emas Djawi ini sangat disukai oleh masyarakat, sehingga pada tahun 1747-1750 mulai dibuat koin perak Jawa Rupee. Rupanya pemalsuan uang bukan hanya dilakukan oleh orang-orang jaman sekarang saja. Begitu Derham Djawi diluncurkan, beberapa tahun kemudian telah muncul koin-koin palsu beredar dipasaran. Akibatnya pada tahun 1751 koin-koin ini ditarik dari peredaran, dan pencetakan uang di Batavia untuk sementara tidak berproduksi.
Pada tahun 1765, diberitakan peraturan bahwa orang-orang pribadi yang mempunyai emas dapat meminta emas yang dimilikinya itu dikonversi menjadi koin. Dengan peraturan itu, maka pada tahun 1765 mulai dibuat koin-koin emas Java Rupee, dengan pecahan 1, 2 dan 4 emas Rupee. Koin-koin inipun pada tahun 1768 harus ditarik kembali karena mulai banyak koin-koin palsu yang beredar di pasaran.
Koin-koin dengan nilai pecahan kecil selalu menjadi kendala dalam peredaran uang. Untuk memecahkan persoalan itu maka pada tahun 1764 dicetak koin-koin pitis dari tembaga merah yang bernilai setengah Doit. Pada bagian muka tercetak: "Duyt Javas", sedangkan di baliknya dalam bahasa Arab Melayu: "Doewit Djawa".
VOC mulai menunjukan ketidakberesan manajemen dan keuangannya sejak tahun1795. Akhirnya pada tahun 1799 VOC dinyatakan bangkrut. Semua harta dan kekuasannya diambil alih oleh pemerintah Belanda, yang saat itu bernama Republik Batavia. Demikianlah masa-masa VOC di Indonesia, yang berakhir dengan sangat mengenaskan. Walaupun pada mulanya kehadiran VOC adalah untuk berdagang, namun VOC merupakan cikal bakal dari kolonialisasi Belanda, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain dimana VOC membuka markas besarya. Karena dengan wewenang yang diberikan kepadanya, VOC bahkan dapat membasmi seluruh penduduk yang tidak mau memberikan hak monopoli kepadanya, seperti yang dialami pada penduduk Banda pada tahun 1645!
Inggris.JPG
Yang menjadi persoalan hingga dicetak "Emergency coin" atau uang-uang darurat adalah tidak tersedianya uang pecahan kecil dalam jumlah yang mencukupi. Biasanya hal ini terjadi karena tidak adanya kiriman koin-koin dari negeri Belanda, atau belum datangnya Jung-Jung Cina yang biasa menyuplai. Salah satu bentuk uang darurat adalah apa yang dinamakan Bonk, yang merupakan potongan-potongan dari batangan tembaga ex Jepang. Potongan tembaga itu dicap pada kedua sisinya dengan berat yang standard, dan tidak dicetak dalam beberapa pecahan, seperti ½, 1 atau 2 Stuiver (1 Stuiver = 4 Doit).
Pada tahun 1796 dan 1797 dicetak juga doit-doit darurat yang terbuat dari timah, dan beredar bersamaan dengan Bonk. Pada bagian sebelah muka terdapat lambang VOC dan huruf "N" diatasnya (singkatan dari Nederlansche). Di bagian belakangnya tertulis: 1 Duyt 1796 / 7 karena doit-doit palsu dari timbal (lead) banyak beredar, maka doit timah itu ditarik dari peredarannya untuk dilebur kembali, yang mengakibatkan doit-doit timah itu menjadi sangat langka sekali. Koin-koin darurat dalam pecahan Stuiver juga dicetak pada tahun 1799 dan 1800. Koin-koin ini terbuat dari campuran dua bahan, yaitu perunggu hasil leburan dari leburan meriam-meriam yang telah rusak, dan timbal (lead). Pada sisi muka dicetak: JAVA 1799 / 1800, dan di baliknya dicetak : 1 Stuiver.

Jaman Pemerintahan Hindia Belanda (1800-1845)

Setelah runtuhnya VOC mulai tahun 1795, maka kontrak VOC yang berakhir pada tahun 1799 tidak diperpanjang lagi. Pada waktu itu Belanda termasuk negara protektorat Perancis, yang akhirnya merubah sistem pemerintahan di Belanda menjadi Republik Batavia (The Batavian Republik), dari tahun 1799-1806. Setelah pemerintahan Belanda mengambil alih seluruh harta dari kekuasaan VOC, maka mulailah jaman Pendudukan Belanda di Indonesia dalam arti yang sebenarnya. Belanda mulai menginvasi daerah-daerah yang dulunya tidak terjangkau oleh VOC. Di Jawa (bagian Tengah dan Timur) timbul perang yag berlangsung selama 5 tahun, dari bulan Mei 1825 dampai dengan Maret 1830. Perang besar ini dikenal dengan nama "Perang Diponegoro", yang mengakibatkan kira-kira 8000 orang Eropa (termasuk pasukan Belanda) dan lebih dari 7000 pasukan Jawa menjadi korbannya. Pada waktu itu, jumlah penduduk Yogyakarta telah berkurang hampir setengahnya!
Nedin.JPG
Tahun 1906 Bali dapat ditundukkan. Perang di Bali terkenal dengan julukan "perang puputan" yang dapat diartikan melakukan perlawanan sampai mati. Di Sumatra, Kesultanan Aceh yang tidak pernah terjamah pada masa VOC di Indonesia, mulai dirambah. Timbul peperangan yang sangat besar, yang dimulai sejak 1873. Perang di Aceh ini dikenal dengan nama "Perang Aceh" atau "De Aceh Oorlog", dimana hingga mundurnya Belanda dari Aceh pada tahun 1942, mereka tidak dapat menguasai Aceh sepenuhnya.
Dalam numismatik Indonesia, koin-koin Belanda sangatlah umum dikoleksi oleh para kolektor. Mereka sangat akrab dengan koin-koin tersebut, karena koin-koin itu pernah lama sekali beredar di Indonesia. Sehingga tidaklah lengkap bagi para kolektor koin di Indonesia jika tidak mengoleksi koin-koin Belanda
Koin-koin asli yang dicetak langsung dari negeri Belanda juga berlaku sah di negeri-negeri jajahan tersebut, seperti koin-koin dengan gambar wajah raja-raja Willem 1, 2, 3, serta ratu Wilhelmina. Uraian mengenai koin-koin asli Belanda tersebut akan dijelaskan dalam artikel tersendiri.
Pada masa pemerintahan Raja Willem 1 (1815-1840), untuk negeri Hindia Belanda dicetak koin-koin perak dengan gambar Willem I, dengan nominal ¼, ½, dan 1 Gulden. Selain itu dicetak juga Doit-doit tembaga dengan nilai pecahan kecil. Pada masa pemerintahan Raja Willem II (1840-1849) ada dua hal penting yang patut dijelaskan disini. Yang pertama adalah dicetak ulangnya koin-koin tembaga VOC dengan lambang propinsi Utrecht, yang semuanya bertahun 1790. Koin-koin ini dicetak di rumah produksi uang Batavia dan Surabaya dari bulan April tahun 1840 sampai dengan akhir 1843, dengan pecahan 1 dan 2 Doit.
Koin-koin tembaga VOC ini sampai sekarang masih banyak dijumpai di pasaran. Kejadian penting kedua adalah ditutupnya percetakan uang Batavia dan Surabaya untuk selama-lamanya. Batavia ditutup pada bulan Januari 1843, sedangkan Surabaya pada akhir tahun 1843. Koin-koin cetak ulang VOC tahun 1790 inilah koin yang terakhir kali diproduksi oleh kedua percetakan uang Batavia dan Surabaya. Sejak ditutupnya percetakan uang di Jawa, maka mulai saat itu semua mata uang untuk peredaran di Indonesia dikirim langsung dari negeri Belanda.
Pada jaman Raja Willem III (1849-1890), pernah dicetak koin perak dengan nilai 1/20 Gulden (Setengah Ketip). Koin ini bentuknya sangat kecil sekali, sehingga tidak diproduksi kembali setelah cetakan kedua tahun 1855. Pada masa ini pula dicetak koin tembaga dengan pecahan 1 dan 2 ½ Sen. Koin 1 sen mulai dicetak sejak tahun 1855, sedangkan pecahan 2½ sen sejak tahun 1856. Dalam peredaranya ternyata koin dengan nilai 2½ sen itu tidak begitu populer dimasyarakat. Orang Jawa menamai koin ini dengan sebutan "Gobang" atau "Benggol". Walaupun tidak sesukses dalam peredaran, namun koin ini sangat populer dengan fungsinya yang lain, yaitu sebagai alat "kerokan".
Pada waktu Ratu Wilhelmina bertahta di Belanda pada tahun 1890-1948, timbul perang Dunia II yang sangat hebat, dimana pada tahun 1940 Jerman menginvasi serta menduduki Belanda. Keluarga Kerajaan termasuk Ratu Wilhelmina lari ke Inggris dengan memakai kapal kargo. Dan di tempat pelariannya itu, Ratu membentuk "Pemerintahan dalam Pengasingan". Koin-koin tetap dicetak, bukan di Belanda, tetapi di Amerika Serikat.
Pada koin-koin dengan tahun 1941-1945, terdapat tambahan huruf kecil di bagian belakang bawah. Hurf "D" adalah singkatan dari "Denver" (1943-1945), "P" adalah "Philadelphia" (1941-1945), dan "S" untuk "San Francisco" (1944-1945). Pada tahun 1945, setelah kekalahan Jerman, Ratu kembali ke negerinya Belanda. Namun pada tanggal 17 Agustus 1945 negara jajahanya di bagian timur telah memproklamirkan kemerdekaanya menjadi Republik Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar